Kritikan Gus Baha Terhadap Orang-Orang NU : Bukan Saya Anti dan Itu Perlu. Tapi Sudah Over

- 7 April 2022, 14:32 WIB
Gus Baha
Gus Baha /

Baca Juga: Cara Gampang Membuat Drop Cookies di Rumah, Cukup Sediakan Bahan-bahan Ini

Coba, Sirojut Tholibin di cetak di mana-mana, termasuk Yaman. Namun, kita tahu nasibnya di Jampes. Kiai-kiai NU itu sudah alim. Ngerti hukum secara tafsil, kok malah hobi bicara yang mujmal. Ini kan sudah mau pinter, di suruh goblok lagi.

Ngaji itu, sampai buka kamus, meneliti tiap kata, harusnya ngajarnya seperti itu. Agar tetap alim.

Ada kiai yang sehari manggung 3 kali. Padahal, pasti dia tidak paham problem dakwah di setiap tempat itu. Dia tidak tahu objeknya, tidak tahu obatnya. Pasti bicaranya standar, itu-itu saja, yang penting lucu dan menarik. Mana ada waktu untuk belajar lebih dalam?

Akhirnya ada orang ceramah ditambahi musik macam-macam. Karena dia tidak alim. Tidak terkontrol, yang penting menarik. Akhirnya ya goblok beneran. Pondok NU juga ikut-ikutan tren. Bikin acara, ya pengajian umum. Yang datang banyak.

Masak, pondok NU mengundang Ustad/Kiai yg tidak jelas. Karena ikut tren tadi. Tidak tahu, keduanya itu kategorinya apa, detailnya mereka. Musibah lagi, warga NU membaca tulisan Gus Ulil, Nusron bahkan Abu Janda tapi tidak tahu naskahnya Mbah Hasyim Asy’ari.

Baca Juga: Kelola Sampah dengan 3 Prinsip ini, Salah Satunya Daur Ulang

"Saya hanya ingin, tradisi ilmiah di NU itu kembali. Kiai tidak boleh diatur orang kaya. Jika tidak, NU bisa habis (orang alimnya). Saya di NU ditugasi ini, bukan yang lain. Maka, saat saya di Lirboyo, saya bilang ‘Gus Kafa, saya lebih senang disambut 4 santri yang benar-benar niat ngaji, daripada banyak santri yang niatnya tidak jelas’. Kemudian, setiap kali saya ke Lirboyo, anak, mantu, cucu dikumpulkan dulu ngaji sama saya." Tegas Gus Baha

Jika, kita 5 tahun saja memulai. NU akan hebat. Jika bukan anak kita yang jadi alim, cucu kita akan jadi ulama. Itulah NU. NU itu harusnya melahirkan kiai – allamah, bukan kiai-mubaligh seperti sekarang. "saya melihat sudah lampu merah. Padahal di zaman kakek saya, bahasa Arab itu seperti bahasa Jawa. Saya punya tulisannya Mbah Hasyim Asy’ari yang surat-suratan dengan kakek saya dengan bahasa Arab." ucap gus baha

Keilmuan, kealiman ini jangan habis. Dulu para pendiri, kakek kita, allamah, punya naskah. Jika kita terus begini, bisa habis. Kritikan Gus Baha luar biasa yang harus dipahami oleh semua sebagai warga pesantren, wa bil khusus NU. Apalagi saat ini umat Islam Indonesia mungkin sktr 65% lebih buta huruf Al Qur'an. Adakah cara, bagaimana bisa mengkolaborasikan antara pengajian kitab kuning dengan pemberantasan buta huruf Al Qur'an.

Halaman:

Editor: Gilang Mustika Muslim

Sumber: ceramah pendek


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah